Bukan Kami- Pena Nurul Fikri

Bukan Kami-

Adikku sudah tertidur lelap beralaskan tikar pandan di atas dipan. Dengkurannya menandakan bahwa dia sudah sangat lelah setelah seharian mencari rumput untuk ternak pak Haji Bukhari tetangga sebelah yang dikenal sangat baik hati.

Ada empat ekor sapi dan enam ekor kambing yang setiap hari harus diberi makan. Dua minggu ke depan jumlah sapi akan bertambah karena sang betina sedang mengandung dan lima hari lagi kambing pun akan bertambah.

Rumput di tepi sungai di selatan dukuh kami adalah rumput yang baik untuk semua ternak. Buktinya ternak pak Haji Bukhari gemuk gemuk meskipun pemiliknya berperawakan tidak gemuk. Selepas membawa dua karung penuh rumput, biasanya uwak Haji, begitu kami memanggilnya, langsung memberi upah pada adikku. Senyum merekah ketika uwak Haji memberi upah yang lebih dari biasanya tadi pagi.

“Terima kasih uwak…..aku bisa beli beras buat emak,” kata adikku.

“Jangan lupa shalat Dhuha ya, Soleh” balas Uwak haji.

Kupandangi lima liter beras yang tadi pagi Soleh bawa untuk kami. Kami tidak akan memakannya dalam wujud nasi disebabkan pasti cepat habis. Kami biasanya membuat bubur sehingga cukup untuk banyak mulut di keluarga kami.

Air bubur terlihat sangat nikmat ketika kami makan. Makan nasi dengan lauk seperti keluarga Pak Ginu yang menjadi kepala seksi partai berwarna merah adalah angan-angan yang indah untuk keluarga ini. Ingin rasanya merasakan apa yang dirasakan oleh keluarga Ginu.

Mereka makan enak, uang banyak. Dua minggu sekali rumah pak Ginu selalu didatangi banyak orang. Pernah aku mencuri dengar kira-kira apa yang mereka bicarakan karena rasa ingin tahuku begitu besar. Banyak kata yang aku tidak paham, seperti “manifesto”, “ revolusioner”, dan “kamerad”.

Rapat demi rapat mereka lakukan dan jumlah mereka makin hari makin banyak. Tidak hanya laki-laki yang datang, tetapi wanita wanita pun banyak yang hadir. Sepulang dari rapat, mereka membawa bingkisan yang aku tidak tahu apa isinya.

Selesai membuat bubur nasi, aku menjerang air agar kami sekeluarga bisa membuat teh. Teh pahit tentunya. Harga gula sangatlah mahal. Ayahku yang bekerja sebagai buruh tani tak akan sanggup membeli.


Tulisan ini diterbitkan di Republika, 8 Juli 2018 oleh Ust.Andriono Kurniawan

Advertisements