Catatan Dari Korea Selatan Pena Nurul Fikri

Catatan Dari Korea Selatan

Oleh Andriono Kurniawan (guru SMA Islam NFBS Serang)

Selama hampir 3 bulan  penulis tinggal di Korea Selatan atas nama program pertukaran guru Indonesia- Korea Selatan di bawah program UNESCO. Seoul adalah kota dimana penulis bertugas. Berikut ini adalah catatan sekapur sirih penulis yang mungkin bisa diambil manfaatnya oleh guru guru Indonesia dan generasi muda penerus bangsa. Catatan ini tidak mencakup kondisi keseluruhan namun sebagaimana penelitian pastilah menggunakan sampel baik sampel utuh maupun sampel acak. Anggaplah catatan ini sebagai sampel.

              Yang pertama yang menjadi fokus laporan saya adalah sekolah SMA di Korea Selatan. Sekolah SMA dimana saya mengajar adalah sekolah bernama Jamil High School. Sekolah ini terletak dikawasan elit di kota Seoul. Hanya butuh sepuluh menit berjalan kaki jika kita ingin melihat sungai Han. Sungai yang menjadi ikon drama drama Korea dapat kami nikmati setiap hari.Tidak ada sampah sekecil apapun yang nampak di sungai tersebut. Jam enam lebih tiga puluh menit kami para guru wakil Indonesia di program ini sudah berdiri menyambut siswa siswi yang datang. Sempat mereka terkejut ketika ada dua orang guru asing mengucapkan “ Annyonghasseyo” pada mereka terlebih dahulu. Guru guru Korea pun sangat menghormati kedatangan kami yang datang lebih awal daripada siapapun. Para Guru Korea membungkukkan badannya tanda bahwa mereka sangat menghormati kami dan kami pun balas membungkukkan badan. Saat itu kami bertekad, guru Indonesia tidak boleh terlambat datang ke sekolah dan tidak boleh datang terlambat masuk ke kelas. Kami membawa nama baik Negara dan ini sangat penting dan serius. Melihat kami yang selalu datang lebih awal, para siswa dan siswi Korea Selatan tersebut mulai mengenali kami dan berani bercakap cakap. Saat itulah kami banyak mendapatkan informasi dari anak anak tersebut. Siswa kelas 12 belajar sangat giat untuk masuk PTN favorit mereka. Bukan hanya kelas 12, kelas 11 pun begitu. Mereka bahkan pulang jam 11 malam dari tempat bimbingan belajar mereka. Ada juga siswa yang menerangkan bahwa saat malam tiba mereka datang ke kafé dan  menyewa kursi dan meja selama dua jam untuk belajar di kafé tersebut. Memang banyak  kafe yang menyediakan tempat untuk belajar malam. Hanya ditemani secangkir teh hangat, mereka belajar dengan tenangnya. Sebagai seorang pendidik, saya ingin sekali mewawancarai anak anak yang memiliki semangat belajar yang luar biasa tersebut dan akhirnya karena banyak anak anak Korea yang mulai berani akrab dengan kami dengan demikian wawancara informal pun kami lakukan. Pertanyaan seputar motivasi belajar yang tinggi kami sampaikan tidak hanya pada satu dua anak namun pada setiap anak Jamil High School yang sering berkomunikasi dengan kami. Jawaban yang kami dapat dari pertanyaan kami hampir sama yaitu mereka melakukan belajar habis habisan dikarenakan Negara mereka tidak memiliki sumber daya alam seperti Negara Negara lain sehingga yang mereka andalkan adalah kualitas Sumber Daya Manusia mereka. Ada yang mereka banggakan ketika mereka tidak memiliki sumber daya alam yang cukup yaitu keunggulan SDM. Jawaban ini cukup menohok kita sebagai pendidik di Indonesia. Betapa tidak? Semangat belajar anak anak Indonesia rata rata masih butuh peningkatan khususnya motivasi dari dalam. Dalam hal militansi belajar, kita bisa belajar pada anak anak Korea Selatan.

              Sekolah dimana saya mengajar, Jam-il high school, menerapkan jam istirahat yang berbeda waktunya untuk tiap kelas. Jam istirahat di bagi per kelas agar menghindari adanya bullying, perkelahian dan menjamin ketersediaan ruangan . Ketika kelas 12 istirahat, maka kelas 10 dan kelas 11 masih ada di dalam kelas untuk kegiatan Belajar Mengajar sehingga tidak akan bertemu saat istirahat. Anak anak tidak akan berani keluar dari kelas jika bel belum berbunyi.Peraturan yang ketat terhadap anak yang berada diluar kelas saat jam belajar sangat di taati. Tak satupun ada siswa yang diluar kelas selama Kegiatan Belajar Mengajar berlangsung kecuali ijin ke kamar mandi. Di setiap sekolah, pelanggaran kedisiplinan seperti berkelahi dll pasti ada. Untuk siswa yang melanggar kedisipilinan akan terkena poin pelanggaran. Poin pelanggaran bisa dihapus dengan melakukan kerja sukarelawan. Penulis menemukan ada anak anak di stasiun kereta bawah tanah yang membantu mengarahkan para lansia dan orang asing yang kebingungan arah tujuan dengan sangat sopan. Seragam orange yang dikenakan para  sukarelawan sangat mencolok. Salutnya, anak anak sukarelawan tersebut bisa bercakap cakap dalam bahasa Inggris dengan kami.

Pernah di saat jam olah raga, anak anak mengajak saya bermain sepakbola. Lapangan sepakbola di dalam lingkungan sekolah sangat cukup untuk bermain. Dikelilingi apartemen apartemen paling mewah di Seoul, mereka asyik bermain. Tidak hanya para siswa yang sangat suka olah raga, namun para guru pun demikian. Para guru lelaki disekolah itu tidak ada yang berperut buncit dan gemuk. Mereka sangat atletis meski usia nya sudah tidak muda lagi. Ada ruangan fitness yang diperuntukkan untuk guru guru di sekolah itu. Biasanya guru guru menimbang berat badannya setelah kegiatan fitness dengan timbangan digital yang disediakan di ruangan . Tambahan pula, tak ada satupun guru yang terlihat merokok.

Masih tentang pendidikan, anak anak mendapatkan libur di hari Sabtu. Kami pun mendapatkan kesempatan untuk lebih mengeksplorasi Korea Selatan. Hari Sabtu digunakan oleh orang tua untuk mengajak anak anaknya mengenal musium musium dan situs situs bersejarah. National Musium yang terletak di samping istana Gyongbokgung di kota Seoul bebas tarif alias gratis bagi pengunjung. Begitupula musium tentang Perang Korea pun gratis.  Di museum ini  (musium Perang korea)terdapat banyak pesawat pesawat tempur , Tank dan perahu yang menjadi saksi saat Perang Korea terjadi di tahun 1950-1953 . Sangat antusias anak anak SD dan SMP menelusuri baik National Musium maupun musium Korean war . Betul kata Bung Karno,bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa jasa pahlawannya. Internalisasi nilai positif untuk identitas bangsa dilakukan saat orang tua membawa anak anaknya ke musium. Buku lengkap yang mengulas sejarah Perang Korea diberikan gratis di Korean musium. Pengunjung boleh mengambil buku yang diletakkan di pintu masuk musium. Untuk menggiatkan literasi, pihak pemerintah tak segan segan menggratiskan buku tersebut agar generasi mudanya bisa mengetahui apa yang terjadi puluhan tahun yang lalu sehingga hal hal pahit tersebut jangan sampai terulang kembali. Pengunjung bisa menaiki perahu perang dengan simulasi suara suara perang yang direkam saat perang di laut terjadi. Bahkan kaca yang tertembak pecah menembus kursi kemudi pun masih bisa kita lihat.

Sekolah Jam-il high school menyediakan satu kelas untuk siswa berkebutuhan khusus. Bersama sorang guru Indonesia lainnya, penulis sempat mengajar mewarnai pola batik pada mereka juga beberapa kosakata bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Meskipun mereka memiliki keterbatasan, namun semangat belajar yang mereka miliki sungguh patut di acungi jempol. Beberapa portofolio hasil buatan mereka dipajang di kelas seperti kerajinan tangan clay dan sabun . Mereka memiliki jam istirahat sendiri.

Untuk transportasi siswa dari rumah ke sekolah sebagian besar mereka berjalan kaki karena mereka tinggal di apartemen sekitar sekolah itu. Ada juga yang mengendarai sepeda. Tidak ada satupun yang mengendarai motor apalagi mobil. Sistem zonasi yang diterapkan sekolah Korea inilah yang mungkin menginspirasi stakeholder pendidikan di Indonesia agar sekolah yang terdekat dengan rumah siswa menerima mereka. Ketika penulis melakukan kunjungan ke sekolah SMK nya Korea yang terletak di Daechong namun masih termasuk Seoul pun, alat transportasi para siswa SMK disana pun adalah sepeda. Dari bincang bincang yang dilakukan penulis pada siswa siswa di Korea, mereka tidak pernah berpikir tentang tawuran dikarenakan mereka punya orientasi yang jauh kedepan . Orientasi masuk universitas bergengsi SKY ( Seoul University, Korean university, Yonsei university) untuk SMA dan orientasi memasuki akademi untuk siswa SMK.

Penampilan siswi siswi Jamil high school sangat lah feminin. Mereka memelihara rambut yang panjang. Rata rata mereka berambut panjang dan di kuncir kuda. Mereka memiliki jaket almamater  yang sangat pas untuk tubuh mereka. Tidak ada jaket yang kebesaran atau yang kekecilan. Mereka mengatakan bahwa ukuran jaket dan desain sangat penting untuk mereka karena merekalah yang mengenakan jaket almamater tersebut. Mereka tidak akan mau pakai jaket almamater jika desain, warna dan ukurannya tidak sesuai dengan  mereka. Untuk masalah penampilan,siswi siswi ini ingin yang terbaik. Sulit bagi penulis untuk mengingat nama lengkap mereka dan kami hanya bisa mengingat nama panggilan nya saja.

Satu hal menarik yang akan selalu penulis ingat adalah budaya bersiwak para siswa dan siswi disana. Sering dijumpai di pagi hari sebelum jam pelajaran dimulai, siswa dan siswi bersiwak sambil berjalan di koridor gedung sekolah. Penulis teringat sabda nabi Muhammad, “ seandainya tidak memberatkan kuingin mewajibkan bersiwak sebelum sholat”. Apakah ada hubungannya antara bersiwak dengan kesiapan mereka menangkap pelajaran?Perlu penelitian lebih lanjut akan hal ini.

Kebalikan dari siswi siswi nya, guru perempuan disekolah ini kebanyakan memiliki rambut yang pendek. Rata rata ibu guru perempuan yang berumur 35 tahunan ke atas berambut pendek. Mereka merasa lebih nyaman begitu. Guru laki laki bertubuh atletis khususnya guru olah raga. Ada juga guru bela diri Jepang di sekolah itu yang mengajar bela diri Samurai. Dalam satu pertemuan, pelajaran Samurai mengajarkan tiga gerakan dasar. Sangat disiplin sekali sang guru dalam mengajarkan seni bela diri tersebut. Para siswa berlatih dengan menggunakan samurai yang terbuat dari kayu agar mereka terbiasa dulu memegang Samurai dengan dua tangan. Saat itu penulis teringat akan lakon dalam film silat Indonesia yaitu “ Arya Kamandanu” yang memiliki pedang warisan dari pendekar negeri seberang. Sepanjang itulah Samurai Jepang.

Sebelum berangkat ke negeri ginseng, kami diminta Kemendikbud untuk memperkenalkan budaya Indonesia kepada murid murid Korea selatan. Saat itulah saya mempersiapkan latihan pencak silat pada Jawara Silat Banten yang sudah melatih banyak pesilat muda Banten menang di ajang Nasional bernama Kang Edi Yusuf. Dikarenakan saat SMP penulis sudah bergabung dengan pencak silat Kijang Kencana, maka pelatihan silat intensif berjalan lancar dan cepat. Kang Edi betul betul pelatih silat yang hebat. Semua gerakan nya langsung saya ingat dan lakukan. Mulai tangan kosong dan golok pun diajarkan beliau. Penulis yakin saat itu bahwa di Korea selatan nanti, gerakan pencak silat ini akan dikuasai oleh siswa siswi disana.

Ketika saatnya tiba, penulis dan satu rekan guru Indonesia yaitu Pak Joko berusaha membuat satu hari tersebut diisi dengan pelajaran seni bela diri Indonesia. Ada enam kelas yang harus kami isi. Dengan mengenakan seragam silat pinjaman Kang Edi dan sarung tangan, penulis mengajarkan gerakan demi gerakan dalam silat. Total ada 14 gerakan dalam satu hari. Sarung tangan yang dikenakan penulis tujuannya adalah agar tidak menyentuh kulit para siswi saat latihan. Silat adalah hal yang baru untuk mereka.Mereka sangat antusias dan tergolong pembelajar yang cepat. Dalam satu kali pertemuan, ada yang sudah berani tampil mandiri untuk semua gerakan silat. Semuanya terdokumentasikan dengan baik oleh rekan Joko.

Selain Pencak silat, penulis juga mempersiapkan tembang tembang Jawa sebagai ikon budaya lokal yang akan kami kenalkan. Lagu Jawa yang kami pilih adalah Ilir Ilir, Suwe ora jamu dan Gundul gundul pacul. Dalam mengajarkannya pun, penulis mempersiapkan blangkon dan lurik yang sesuai. Saat pengajaran budaya Jawa, penulislah yang ganti berperan menjadi seksi dokumenter. Pembelajaran yang  PAIKEM GEMBROT ( Pembelajaran Aktif Interaktif Kreatif Menyenangkan Gembira dan Berbobot)coba diterapkan di setiap kami mengajar. Untungnya, Korea Selatan memiliki koneksi internet tercepat sedunia sehingga sangat menolong kami jika harus menyediakan video video pendukung . Seorang siswa yang bernama “Chung” di penghujung kegiatan mampu menyanyikan lagu “Suwe ora Jamu” secara mandiri. Itu terjadi dalam satu kali pertemuan.

Dari kegiatan pertukaran guru Korsel- Indonesia ini, penulis menarik kesimpulan bahwa Jika kita bisa mengajar anak anak Korea yang memiliki bahasa ibu yang berbeda dengan kita, Berarti kita pun akan sangat bisa mengajar anak anak kita lebih optimal. Kendala bahasa bisa diatasi dengan media pembelajaran dan pola pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi. Kesungguhan guru dan totalitasnya pun menjadi tuntutan wajib untuk mereka yang memilih jalan untuk mengajar. Sepulang dari program ini, kami melihat bahwa sebagai guru, kita harus menganggap semua anak adalah murid murid kita meskipun memiliki perbedaan suku, ras, agama, kewarganegaraan. Dunia pendidikan tidak memiliki batas teritorial.