Going Extra Miles Pena Nurul Fikri

Going Extra Miles

Oleh: Niko C. Pratama

 

Selepas mengajar di kelas XII IPS 2, saya ada jam lagi di kelas saya. Kelas X IPS 1. Sebelum masuk, saya rehat sejenak di kantor guru.

 

"Pak Niko, saya lupa, ini ada titipan dari anak kelas sepuluh," ujar Pak Prio Purwanto. Guru matematika yang duduk tepat di samping kanan saya.

 

Pak Prio menyerahkan bungkusan kripik ukuran jumbo.

 

"Dari siapa Pak?"

 

"Aduh, saya lupa orangnya."

 

"Dari anak saya bukan? Kelas sepuluh IPS satu?"

 

"Aduh, saya lupa. Saya belum kenal anaknya, hehe."

 

***

 

"Assalamualaikum!" Sapa saya di pintu kelas.

 

"Walaikumussalaaam Stadz!" Jawab beberapa anak serempak. Sisanya masih asik mengobrol.

 

BRUK BRUK BRRUKK

Enam sampai delapan siswa setengah berlari menghampiri saya. Mereka berebut mencium tangan kanan saya.

 

"Kripik sudah diterima Stadz?" Tanya seorang siswa yang lebih dulu dapat tangan saya.

 

Saya mengernyitkan dahi. Mencerna pertanyaan.

 

"Oooh, kripik yang bungkusnya besar?"

 

"Iya Stadz."

 

"Sudah. Terima kasih ya. Itu dari siapa?"

 

"Dari kami Stadz."

 

"Kami?"

 

"Iya. Itu hadiah untuk kelas kita. Kita dapat penghargaan kelas paling disiplin apel pagi. Tadi hadiahnya dapat banyak. Itu satu buat Ustadz."

 

"WAH!!!!"

Saya terkejut. Bukan karena hadiahnya. Tapi karena penghargaan yang diraih kelas kami. Kelas X IPS 1.

 

Senyum saya mengembang. Pokoknya, sebelum saya instruksikan anak-anak ke perpustakaan untuk reading time pada jam wali kelas siang ini. Saya harus bicara dulu dengan mereka. Harus. Tentang satu hal saja. Ya, tentang satu hal saja. Tidak lebih.

 

***

 

"Oke. Agenda kita hari ini adalah reading time di perpustakaan. Namun sebelumnya, ada satu hal yang ingin saya sampaikan."

 

Masih ada sedikit obrolan di dalam kelas. Serupa suara lebah yang mendengung.

 

"Sssssstttt." Seorang siswa mendesis. Isyarat perintah diam.

Pelan-pelan kelas hening.

 

"Sebelumnya saya ingin bertanya dulu."

 

Para siswa melihat saya. Menunggu pertanyaan.

 

"Kira-kira, kenapa kelas kita bisa mendapat penghargaan kelas paling disiplin apel?"

 

"Karena kelas kita jarang telat Stadz!" Celetuk seorang siswa di pojok.

 

"Oke. Ada lagi?"

 

"Karena kita dipimpin oleh ketua kelas yang keren Stadz!" Celetuk siswa lain. Dia ucapkan sambil menunjuk ke arah ketua kelas.

 

"Hahahaha!" Kelas bergemuruh.

 

"Mmm, okeee," saya manggut-manggut sembari tersenyum.

 

"Ada lagi?"

 

"Karena do'a dari orang tua dan guru Stadz." Jawab yang lain.

 

"Cie cieee...," goda beberapa siswa.

 

"Ya ya. Itu benar. Perlu diketahui. Orang tua teman-teman itu selalu mendoakan yang terbaik untuk teman-teman. InsyaAllah saya saksinya. Boleh jadi penghargaan ini adalah salah satu jawaban atas do’a orang tua teman-teman."

 

"Oke. Saya rasa sudah cukup. Sekarang saya ingin mencoba memberikan tambahan jawaban. Tapi saya ingin bercerita dulu."

 

Anak-anak merapikan posisi duduk mereka.

 

"Dulu. Ada seorang remaja yang hobi bulu tangkis. Dia sangat rajin latihan dengan teman-temannya. Waktu latihannya adalah jam tujuh. Tapi dia datang lebih awal dari yang lain. Dia datang ke lapangan jam enam. Dia latihan sendiri sebelum latihan bareng teman-temannya. Begitu terus setiap waktu latihan. Hingga suatu hari. Apa yang terjadi pada remaja yang satu ini?"

 

Anak-anak tidak ada yang mau menjawab. Mereka hanya diam.

 

"Kemudian dia menjadi pebulutangkis nomor satu di dunia. Sekarang dia telah menjadi legenda hidup bulu tangkis Indonesia. Bahkan dunia. Siapakah dia?"

 

"Taufik Hidayat!" Jawab seorang siswa.

 

Saya menggerakkan telunjuk. Isyarat jawabannya belum tepat.

 

"Dia adalah peraih delapan kali juara All England. Tujuh di antaranya diraih secara beruntun."

 

"Rudi Hartono!"

 

"Benar! Dialah Rudi Hartono! Karena dia latihan lebih banyak dari yang lain, maka sekarang dia mendapatkan lebih banyak dari yang lainnya. Kuncinya adalah satu. Ketika kita melakukan lebih. Maka kita akan mendapatkan hasil yang lebih pula!"

 

"Masih ada lagi," ucap saya sambil menatap anak-anak.

 

"Acungkan tangan yang suka Moto GP!"

Beberapa anak mengangkat tangan mereka.

 

"Acungkan tangan yang suka Valentino Rossi!"

Beberapa siswa mengacungkan tangan.

 

"Saya adalah penggemar Rossi. Tapi kali ini saya tidak akan bercerita tentang dia. Saya ingin bercerita tentang salah satu kompetitornya. Yaitu Lorenzo."

 

"Begini. Pada gelaran Moto GP 2014. Juaranya adalah Marques. Keduanya Rossi. Dan ketiga Lorenzo. Saat itu, ada seorang wartawan yang bertanya kepada Lorenzo. Pertanyaannya adalah seperti ini, apa yang akan Anda lakukan untuk gelaran moto GP tahun depan? Jawaban Lorenzo adalah seperti ini, Saya akan lebih banyak latihan dari yang lain. Lebih banyak berlatih untuk persiapan tahun depan. Kemudian, apa yang terjadi pada Moto GP tahun 2015?"

 

Saya diam.

 

"Juara dunianya adalah Lorenzo."

 

Saya diam lagi.

 

"Lorenzo melakukan lebih. Lalu dia mendapatkan lebih."

 

Anak-anak melongo.

 

"Terakhir. Hari ini kelas kita mendapat penghargaan kelas paling rajin apel. Kenapa kira-kira?" Saya akhiri dengan pertanyaan. Sebuah pertanyaan yang tidak butuh jawaban.

 

"Ini karena kelas kita telah melakukan lebih dari yang lain. Sebab itu kelas kita mendapatkan hasil yang lebih pula."

 

"Sesungguhnya inilah satu pelajaran yang ingin saya sampaikan pada teman-teman. Yaitu melakukan lebih. Maka kita akan mendapatkan hasil yang lebih pula."

 

"Going Extra Miles!"

 

"Going extra miles-nya Rudi Hartono adalah latihan lebih awal. Dan dia sekarang menjadi legenda bulutangkis dunia. Going extra miles-nya Lorenzo adalah latihan lebih banyak. Dan pada tahun 2015 dia menjadi juara dunia Moto GP. Going extra miles-nya kelas kita adalah rajin apel pagi. Dan hasilnya sekarang kita menggondol predikat kelas terdisiplin apel! Alhamdulillah!"

 

"Ingat! Satu saja pelajaran hari ini! Going extra miles! Jika teman-teman ingin mendapatkan lebih! Maka harus berbuat yang lebih. Titik!!!!"

***