KAPITALISASI PILKADA Pena Nurul Fikri

KAPITALISASI PILKADA

Harga untuk menjadi gubernur sebagai mahar politik pada satu partai adalah Rp 300 milyar menurut Bapak Prabowo. Beliau sedih dengan fenomena ini. Dalam rekaman video saat kunjungan ke acara sebuah pesantren, Bapak Prabowo mengatakan bahwa untuk menjadi Kepala Daerah, anda tidak akan saya Tanya lulusan mana, buku apa yang anda tulis atau prestasi apa yang sudah anda buat. Namun yang ditanyakan adalah apakah anda punya Rp 300 Miliar. Ini adalah realita sistem politik kita saat ini.

                Apabila satu partai saja meminta mahar politik sebesar itu, bagaimana jika jumlah partai nya lebih dari satu?ongkos politik yang wajib dimiliki para kandidat Pilkada sangatlah besar. Untuk yang memiliki mahar tersebut, maka bisa dicalonkan oleh partai. Bagaimana dengan kandidat yang sangat kompeten, berbudi pekerti yang luhur dan tidak pernah terlibat skandal namun tidak mampu membayarnya? Maka yang terjadi adalah siapa yang punya uanglah yang akan menguasai PILKADA dan bukan siapa yang kompeten, berdedikasi tinggi, dan mampu. Jika fenomena ini tidak kita sadari dan tidak kita ubah, yang terjadi adalah wujud kapitalisasi dalam PILKADA.

                Sikap sebuah partai yang meminta mahar politik adalah sebuah kewajaran. Bagaimana mungkin bisa menggerakkan simpatisannya tanpa modal yang besar untuk kampanye?Tidak ada Partai yang tidak minta mahar politik untuk PILKADA jaman now. Mereka perlu biaya untuk penggalangan di wilayah DPW,DPP hingga ke DPC. Semuanya butuh biaya besar.

                Sistem Multipartai tuntutan reformasi kini telah memakan korban berupa ongkos politik yang besar. Para Kepala Daerah yang belum  “Break Event Point” akan memanfaatkan injury time ini dan celakanya KPK sudah paham sehingga ditangkaplah banyak Kepala Daerah dari tingkat Gubernur hingga Bupati/walikota menjelang berakhirnya masa jabatan mereka. Ada baiknya agar kita kembali lagi menggunakan PILKADA tak langsung dikarenakan PILKADA langsung saat ini tidak memberikan TELADAN yang baik pada generasi muda kita. Sejatinya seorang Kepala Daerah itu berpikir bagaimana di masa tugasnya mensejahterakan Daerah dan bukan berpikir “BAGAIMANA BALIK MODAL SEBELUM HABIS MASA JABATAN” atau “ BAGAIMANA MENGUMPULKAN MODAL SAAT SAYA BERKUASA UNTUK MENCALONKAN LAGI PERIODE BERIKUTNYA”. Itulah drama politik yang terjadi saat ini dan mari kita ubah agar jangan jatuh ke lubang yang sama.



-Andriono Kurniawan (Pengajar SMAI NFBS SERANG)