Literasi Perpustakaan VS Toko Buku Pena Nurul Fikri

Literasi Perpustakaan VS Toko Buku

Oleh: Andriono Kurniawan, M.Pd

 

Pada tanggal 8-19 September 1965, para pengambil kebijakan di bidang pendidikan di beberapa negara berkumpul di Teheran untuk membahas tentang aksara. Begitu pentingnya masalah aksara ini hingga harus dibawa ke dalam konferensi internasional. Sekumpulan menteri pendidikan yang peduli ini bertekad memberantas buta huruf di negaranya melalui resolusi internasional. Sebuah konferensi penting yang menjadi tonggak awal gerakan literasi.

 

Dalam bahasa Inggris kata “literate” diartikan sebagai “melek huruf” sedangkan “illiterate” mengandung arti “buta huruf”. Ketika membahas kata aksara yang mengandung arti huruf, maka ini dapat dimaknai sebagai sebuah gerakan yang berupaya untuk mendidik masyarakat agar dapat membaca. Semua pemerintah di tiap negara pasti ingin warga negaranya dapat membaca karena berhubungan dengan pembangunan negara itu sendiri. Bagaimana mungkin sebuah negara bisa mengimplementasikan tujuan nasionalnya apabila warganya sendiri tidak dapat membaca?

 

Di Indonesia, gerakan anti buta huruf terus digalakkan dari pemerintahan satu ke pemerintahan berikutnya. Tidak mudah memang untuk memberantas buta huruf di negeri yang berpenduduk kurang lebih 270 juta ini. Berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS tahun 2018, ada 3,29 juta jiwa yang masih dalam keadaan buta huruf. Jumlah ini masih rasional ketika dihadapkan pada situasi geografis dan sosial kultural yang sangat beragam.

 

Gerakan literasi (keaksaraan) juga memfasilitasi dari bisa membaca ke arah gemar membaca. Adanya fasilitas Perpustakaan daerah di tiap provinsi adalah upaya konkrit dukungan gerakan ini. Tercatat bahwa Indonesia adalah negara yang memiliki perpustakaan terbanyak nomor dua sedunia dengan jumlah 164.000 perpustakaan. Jumlah ini ada di bawah negara India yaitu 323.605 perpustakaan. Fenomena ini menjadi paradoks ketika Indonesia menempati ranking terendah dalam hal minat baca menurut survei lembaga internasional. Di tahun 2016, menurut World’s Most Literate Nations, Indonesia menduduki peringkat 60 dari 61 negara. Sungguh fakta yang menyedihkan. Jika ini terjadi pada negara yang tidak memiliki perpustakaan terbanyak kedua sedunia, maka akan dianggap wajar dan masuk akal. Seandainya diumpamakan, maka keadaannya seperti semut yang sedang berjalan di atas lautan gula pasir.

 

Seorang penulis Indonesia pernah berbagi pengalaman ketika berkunjung ke Malaysia. Beliau sangat bersyukur menjadi warga negara Indonesia yang memiliki banyak penulis produktif. Di Malaysia, penulisnya tidak seproduktif penulis Indonesia. Buku yang ditulis penulis Malaysia sangat terbatas. Banyak orang Malaysia yang menjadi pembaca buku-buku penulis Indonesia. Indonesia tidak pernah kekurangan penulis karena sudah banyak penulis hebat dan silih berganti muncul para penulis muda Indonesia bak jamur di musim hujan. Hal yang kurang dari Indonesia adalah pembaca.

 

Kita jangan pernah malu untuk belajar pada negara Jepang yang memiliki minat baca tinggi. Negara satu-satunya di dunia yang hancur dibom atom pada tahun 1945 lalu berhasil bangkit ini ternyata memiliki banyak budaya positif di antaranya budaya baca. Banyak kisah tentang budaya gila bacanya orang Jepang. Kita akan menemukan pemandangan orang yang membaca saat di stasiun atau di kereta. Di toko buku ada kebiasaan “tachiyomi”, yaitu membaca buku di toko buku tanpa harus beli. Pemilik toko buku tidak merasa dirugikan oleh aktivitas ini. Toko buku yang dikunjungi banyak pelaku Tachiyomi adalah toko buku yang beromset tinggi. Boleh jadi hari ini para pengunjung hanya baca, namun hari lain bisa jadi membeli. Toko buku pun tidak usah membuang uang untuk iklan karena para pelaku Tachiyomi adalah iklan mereka. Pemilik toko buku telah berjasa dalam menggiatkan minat baca yang berperan dalam meningkatkan nilai sumber daya manusia negara Jepang. 

 

Dari paparan di atas, ternyata  toko buku lebih mempengaruhi minat baca dibandingkan dengan perpustakaan. Bisa jadi dikarenakan toko buku selalu mengikuti permintaan pasar sedangkan perpustakaan tidak. Banyak perpustakaan di Indonesia yang isinya buku-buku yang sudah tidak relevan lagi dengan yang sedang menjadi trend. Di sebuah sekolah negeri, rak-rak buku dipenuhi dengan buku paket pelajaran dari tahun yang sudah lama. Sedikit sekali buku-buku yang menjadi trend tersedia. Tambahan pula kondisi ruangannya yang kurang terawat dan berdebu. Siapa yang mau ke perpustakaan jika keadaannya seperti ini? Semoga perpustakaan mereformasi konten bukunya agar lebih kekinian sehingga nyaman untuk dikunjungi.