Oleh: Aseph Khalid, S.Pd.I.
“Setiap orang punya milieu intelektualnya masing-masing.”
Kajian karakter selalu menarik untuk dibahas. Mengenali karakter sangat penting bagi guru untuk mengetahui masing-masing jalur kecerdasan peserta didik, karena cara belajar dan bakat setiap peserta didik berbeda. Selain itu, kajian karakter pun sangat penting sebagai pengamalan dari firman Allah di surat Adz-Dzaariyat ayat 21:
وَفِيْٓ اَنْفُسِكُمْ ۗ اَفَلَا تُبْصِرُوْنَ
"Dan dalam diri kalian sendiri, maka tidakkah kalian memperhatikannya?"
Kata “bashara” (melihat yang tak terlihat/nonmikroskopis) lebih dalam dari “nazhara” (melihat hal yang terlihat/mikroskopis). Ayat ini lebih menjurus kepada hal yang abstrak seperti psikis daripada yang konkret seperti anatomi. Atau bisa juga memperhatikan keajaiban-keajaiban yang Allah tampakan dalam ciptaan-Nya. Begitu pula di akhir surat Fushshilat ayat 53,
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّ
"Akan kami tampakan tanda-tanda kekuasaan kami di seluruh ufuk jagat raya dan di dalam diri mereka sendiri, hingga nyata bagi mereka bahwa Al-Qur'an itu adalah sebuah kebenaran."
Para ulama memang menafsirkan makna ayat tersebut sebagai keajaiban pertolongan Allah kepada kaum Muslimin, yang berawal dari sebuah pedusunan Yatsrib yang kecil, menjadi negeri Madinah, hingga menjadi imperium besar yang menguasai 1/3 dunia, serta menaklukan dua imperium di zamannya.
Namun dewasa ini, sains dan teknologi telah membuka cakrawala yang lebih luas seputar kemukjizatan Al-Qur'an, termasuk dalam kajian karakter. Ada banyak tanda kekuasaan Allah yang dapat ditemukan dalam pengkajian “An-Nafs” (jiwa), salah satunya tentang karakter dan mesin kecerdasan.
Saya bukan orang Psikologi, tapi termasuk orang yang menyimpan perhatian lebih terhadap dunia psikologi praktis demi mengamalkan perintah Allah di surat Adz-Dzariyat ayat 21 tadi. Dalam mencari tahu perihal karakter ini, saya pernah mengikuti tes STIFIn (biaya ¼ jt) dengan hasil mesin kecerdasan “Instinc”, dan tes Talents Mapping (biaya ½ jt) dengan hasil 7 karakter utama dari total 34 karakter bakat, yaitu connectedness, input, maximizer, empathy, futuristic, intellection, dan harmony.
Setelah memperhatikan karakter pribadi, ada banyak hal yang bisa dipelajari. Ibarat posisi pada pemain bola, bisa berfokus dengan posisi masing-masing. Posisi back tidak perlu memaksakan diri menjadi striker, begitupun striker yang tidak perlu memaksakan mundur ke belakang menggantikan keeper.
Memahami karakter diri membuat lebih bersyukur dan dapat berfokus pada apa yang Allah berikan. Menjadi lebih percaya diri dengan penuh semangat mengupgrade kemampuan diri melalui bakat yang telah Allah berikan.
Sebelum mengenal karakter, saya mengalami kesulitan dalam belajar. Hal ini setidaknya terjadi di jenjang SD dan SMP, saya tidak pernah mengais ranking walaupun hanya sekali, karena merasa terbebani dengan pelajaran tertentu dan akhirnya menganggap diri tidak berkemampuan dan tertinggal. Namun, setelah mengenal karakter akhirnya bisa lebih legowo dengan pelajaran yang unintended dan lebih nge-gas di pelajaran-pelajaran yang merupakan arena intelektual diri.
Berdasarkan pengalaman pribadi, setelah memahami kelebihan di bidang seni dan sastra, saya terus mengupgrade dua hal tersebut, dari mulai menulis buku, menulis lagu, mempelajari gitar dan piano, menggeluti seni kaligrafi, qira’ah berirama, serta kesenian lainnya. Beberapa orang menyangka bahwa saya memiliki talenta lebih dari satu, padahal saya hanya memaksimalkan sebuah mesin kecerdasan yang Allah berikan. Jadi, semuanya dimulai dari mengenal diri sendiri.
Analogi dalam sebuah handphone, kita seakan menghacking diri dan menginstal aplikasi-aplikasi yang kita inginkan dan menghapus yang tak perlu, memenuhi RAM dengan skill yang kita inginkan dan mengisi ROM dengan karya dan produk yang bisa kita hasilkan. Bedakan dengan orang yang sama sekali tidak mengenal dirinya dan terombang-ambing dalam kebingungan intelektual. Bingung dengan jurusan mana yang harus dia pilih dan bingung terhadap masa depannya ingin jadi apa.
Kajian karakter ini sangat luas jangkauannya, melalui metode belajar, metode menghafal, bahkan jurusan kuliah. Saya sampai aneh sendiri ketika mengkaji personal genetik dalam konsep STIFIn. Terlalu banyak “Allahu akbar” yang saya temukan, terutama saat mengetahui adanya akurasi antara DNA, sidik jari, bakat, mesin kecerdasan (otak yang paling dominan) yang menjurus pada pengetahuan terhadap karakter manusia.
Dalam hal ini, takdir (ukuran/perhitungan) yang Allah tetapkan untuk seluruh makhluk-Nya benar-benar sangat teliti. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Qamar ayat 49,
اِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْنٰهُ بِقَدَرٍ
"Sesungguhnya segala sesuatu itu telah kami ciptakan berdasarkan ketentuan (perhitungan yang sangat teliti dan akurat)."
Apapun yang kita teliti jika dilakukan dengan jujur, maka hasilnya akan bermuara kepada sebuah pengakuan kehambaan dan kerendahdirian di hadapan Allah sang Pencipta, sembari berkata:
رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
"Wahai Rabb kami, tak ada satupun dari ciptaan Engkau yang sia-sia (penuh hikmah). Maha Suci Engkau, maka lindungilah kami dari api neraka." (QS. Ali Imran: 192)
Setiap orang mempunyai milieu intelektualnya masing-masing, begitupun dengan para santri. Mencoba mengembalikan santri kepada fitrah intelektualitasnya merupakan salah satu cara terbaik untuk memaksimalkan kemampuan mereka, kecuali dalam hal yang fardhu ‘ain (wajib bagi perorangan untuk menguasai dan tak bisa diwakilkan) seperti shalat, mambaca Al-Qur’an, memahami syariat Islam, maka tentu seluruh santri harus bisa menguasai. Adapun dalam pelajaran duniawi, maka memilihkan jalur studi sesuai karakter mesin kecerdasannya merupakan sebuah ikhtiar terbaik untuk masa depan mereka. Hal ini pun sesuai dengan konsep merdeka belajar. Wallahu a’lam.