Oleh : MKI
Wanita mana yang tidak ingin mendapatkan suami terhormat bahkan bukan hanya terhormat, melainkan paling mulianya makhluk?
Wanita mana yang tidak mendambakan seorang laki-laki untuk menjadi imamnya dengan karakter yang paling menghargai martabat dan hak-hak seorang wanita?
Wanita mana yang berani menolak ketika dipinang oleh orang ia cintai melebihi cintanya terhadap mata, telinga, dan tangannya, dan juga pasti memberikan garansi bagi kebaikan dunia dan akhiratnya?
Pertanyaan di atas adalah sebuah ungkapan yang terjawab dengan sendirinya dengan apa yang sudah dilakukan oleh seorang shahabiah agung Umi Hani.
Ia Umi Hani, sepupu, teman bermain sekaligus cinta pertama sang Nabi yang sebelum masa kenabian dilamarnya untuk dijadiakan permaisuri idamannya, namun sang paman yang paling membelanya menolak semua keinginan dan hasrat cintanya.
Cinta sang Nabi tertolak karena sang paman menghargai kebaikan orang yang terlebih dahulu datang meminang pujaan hatinya dan tiada daya bagi pamannya harus mendahulukannya.
Cinta sang Nabi yang sedianya bersemi kembali, karena sang dambaan hatinya telah memilih jalan keimanan dan melepaskan suaminya karena masih dalam kesyirikan walaupun ia harus Menanggung 4 buah hatinya.
Namun apa daya, kesadaran akan tanggung jawabnya sebagai seorang ibu terhadap anak-anaknya dan tanggung jawabnya sebagai seorang istri apabila ia menerima pinangan sang Nabi, terpaksa ia harus kembali menolak anugerah terbesar dalam hidupnya yaitu dengan tidak membiarkan cinta Nabi bersemi di kebun cintanya dan berlarian laksana kumbang yang mencari putik bunga, dan dengan penuh kesadaran serta keberanian Umi Hani menyampaikannya pada sang nabi.
Wahai Rasulullah, engkau adalah orang yang paling saya cintai dari pada pendengaranku dan penglihatanku. Akan tetapi, bukankah hak seorang suami itu sangat besar? Saya khawatir jika saya menerima engkau sebagai suami, perhatian saya terhadap diri saya dan anak-anak saya akan terabaikan. Namun jika saya lebih mementingkan anak-anak saya, saya khawatir tidak bisa memenuhi hak-hak anda sebagai seorang suami.”
Lantas bagaimana Nabi menyikapi penolakan ini?
Apakah beliau kecewa?
Ternyata tidak, karena hakikatnya Nabi sudah mendapatkan cinta Umi Hani dan beliau berbesar hati dan bangga terhadap keputusan Umi Hani bahkan beliau memberikan pujian kepadanya, “Sebaik-baik wanita yang bisa menunggangi unta adalah wanita Quraisy, karena dialah orang yang paling sayang kepada putranya dan pada saat yang sama dia juga yang paling perhatian pada suaminya.”
Sungguh luar biasa, kisah perjalanan cinta sang Baginda dengan penuh kesadaran ia relakan tanpa harus memiliki dan tentu semua ini juga sebagai pembelajaran bagi kita bahwa ketika kita mencintai seseorang, bukanlah sebuah keharusan bagi kita untuk memilikinya, namun yang harus kita kuatkan adalah keniscayaan untuk terus membahagiakannya.
Cihideung, 26 Agustus 2021