REVOLUSI PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS Pena Nurul Fikri

REVOLUSI PEMBELAJARAN BAHASA INGGRIS

Oleh Andriono Kurniawan (Guru B. inggris SMA NFBS Serang)

Pentingnya mata pelajaran bahasa Inggris tidak dapat dipungkiri oleh siapapun di negeri ini. Selama 15 tahun mengajar Bahasa Inggris, penulis memperhatikan dan mencatat perkembangan cara belajar bahasa Inggris secara revolusioner. Penulispun melakukan penelitian, untuk melakukan penelitian ini, penulis harus datang dan melihat langsung terhadap objek penelitian. Dari tiga objek penelitian (lembaga kursus, desa bahasa, pesantren), berikut adalah analisis yang ditemukan.

Lembaga kursus membagi peserta kursus berdasarkan hasil placement test. Berdasarkan hasil placement test, seorang peserta kursus bisa masuk ke kelas Basic, intermediate atau advance.Jadi dalam setiap kelas di lembaga kursus memiliki tingkat keahlian yang sama dengan kata lain bahwa kelas di lembaga kursus adalah kelas homogen. Istilah tiap kursus berbeda beda. Ada yang menggunakan level 1 sampai level 6 atau pre beginner, beginner, dan seterusnya. Kurikulum kursus di rancang secara “integrated”. Perkelas mensyaratkan skill yang harus dikuasai tiap peserta kursus dalam kurun waktu tertentu. Kenaikan level di rancang ada yang per tiga bulan dan ada yang per empat bulan. Lembaga kursus yang berkualitas tidak akan berani mempertaruhkan nama baik lembaga dengan meluluskan yang seharusnya belum lulus.

Desa bahasa adalah desa yang di klaim memiliki kegiatan berbahasa asing atau menjadi tempat tujuan untuk belajar bahasa asing karena memang di desain untuk itu. Ada dua desa bahasa yang diteliti oleh penulis.Desa bahasa Pertama adalah desa bahasa di Magelang dekat candi Borobudur. Ketika penulis mengunjungi tempat itu ternyata klaim desa bahasa yang pernah di dengungkan sudah tinggal kenangan. Yang ada hanyalah lembaga kursus binaan Bapak Hani Sutrisno (penggagas desa bahasa di Magelang). Kedua yaitu Pare, Kediri. Sebagai desa Bahasa letaknya bukanlah di kota Kediri. Disinilah penulis menemukan desa bahasa yang sebenarnya. Dari wawancara responden yang di kumpulkan secara acak, ditariklah hipotesis bahwa desa bahasa Pare dimulai dari seorang yang bernama Mr Kalend penggagas desa bahasa Pare. Bahkan Pak Hani Sutrisno pernah belajar di Pare. Berawal dari kelas kecil di teras Masjid, sebuah lembaga kursus pertama bernama BEC (Basic English Course) mulai berdiri dan meluluskan banyak siswa yang berkompeten. Lulusan lulusan BEC akhirnya membuka kursus juga di desa itu sehingga Pare yang tadinya sepi kini ramai dengan para pendatang dari luar daerah yang juga ingin belajar bahasa Inggris.

Yang terakhir adalah pesantren terkenal GONTOR. Aura pembelajaran dipesantren Gontor terasa sangat berbeda. Begitu kami menginjakkan kaki di bumi para santri itu, atmosfir pembelajaran bahasa Arab sudah mulai terasa. Gambar tokoh tokoh sains ditempel di dalam kelas meskipun mereka bukan Muslim. Ketika kita berkeliling pesantren, papan pengumuman mereka tidak ada yang menggunakan bahasa Indonesia. Pengumuman harus dalam bahasa Inggris atau bahasa Arab. Mereka mendesain milieu mereka sedemikian rupa sehingga “ artificial environment” mendukung keberhasilan santri dalam menguasai bahasa asing.

Dari ketiga objek penelitian diatas,  untuk kesuksesan pembelajaran bahasa Inggris di sekolah umum sebaiknya kita mengambil sisi positif nya. Selama ini pembelajaran bahasa Inggris  belum dirasa maksimal untuk membuat siswa siswi berani menggunakan bahasa tersebut untuk berkomunikasi.

Beberapa penyebab kurang berhasilnya pembelajaran bahasa Inggris di sekolah umum adalah:

Kurangnya Keteladanan Guru, maksudnya disini adalah kurangnya guru dalam menggunakan bahasa Inggris di kelas. Guru terlalu banyak menggunakan bahasa Indonesia dalam mengajar sehingga bahasa Inggris seolah olah seperti mapel sains dan sejarah. Padahal bahasa Inggris adalah alat komunikasi dan bukanlah sebuah “ilmu”.

Kurangnya Jam Pelajaran, maksudnya disini adalah tentang jam wajib mapel bahasa Inggris. Di kurikulum 2013, jam wajib mapel bahasa Inggris adalah 2 jpl. Herannya mapel lain seperti matematika dan bahasa Indonesia jam wajibnya adalah 4 jpl. Padahal baik bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia dan matematika sama-sama mapel yang diujikan saat ujian nasional. Semestiny jam wajibnya sama.

Lingkugan yang kurang mendukung maksudnya disini adalah bahwa pembelajaran bahasa Inggris hanya terjadi didalam kelas saja seperti mapel lain. Semestinya pembelajaran bahasa Inggris juga terjadi di luar kelas dan dipakai sebagai alat komunikasi.

Untuk menyukseskan pembelajaran bahasa Inggris diperlukan revolusi pembelajaran dan bukan hanya reformasi pembelajaran saja. Ada beberapa rekomendasi penulis agar pembelajaran bahasa Inggris di sekolah umum dapat berhasil. Rekomendasi tersebut diantaranya adalah :  

Dukungan penuh Kepala Sekolah dalam menyukseskan revolusi pembelajaran adalah syarat pertama karena berkaitan dengan program sekolah dan anggaran sekolah. Dalam mendukung program, seorang Kepala Sekolah juga harus menjadi contoh yang membuat semua guru di sekolah tersebut terpacu menyukseskan program ini. Wadah yang tepat untuk menyukseskan program ini dalam tataran eksternal sekolah adalah MKKS ( Musyawarah Kerja Kepala Sekolah) yang dijadikan penguat untuk semua Kepala Sekolah. Semua Kepala Sekolah saling menguatkan.

Dukungan penuh semua guru mutlak harus ada. Setelah Kepala Sekolah menjadi model bahasa, guru guru pun menjadi model berikutnya. Pemboikotan program bisa terjadi dikarenakan guru guru enggan menjadi model. Harus ada ketegasan Kepala sekolah jika menemukan pemboikotan seperti ini. Bahkan tragisnya, dalam sebuah pesantren modern ada yang menganggap bahwa bahasa adalah penghalang kesuksesan unit lain sehingga pesantren tersebut lumpuh bahasanya. Idealnya setiap pesantren memiliki kebanggaan dalam penguasaan bahasa asing karena “ Language is the crown of pesantren”. Pesantren yang bagus akan membekali para santrinya tidak hanya ilmu agama namun juga terampil berbahasa asing.

Artificial environment di desain untuk memudahkan para siswa di sekolah menemukan tempat berekspresi. Artificial environment meliputi : peraturan yang membudayakan bahasa, media berekspresi, dan coaching bagi yang membutuhkan. Pembuatan artificial environment dilakukan dengan mengedepankan norma yang sesuai dengan identitas daerah masing masing sehingga mengandung kearifan lokal. Materi tentang nilai nilai lokal disampaikan dengan menggunakan bahasa Inggris sehingga dalam sekali dayung dua tiga pulau terlampaui.

Lokomotif bahasa adalah tim sukses program ini. Mereka menjadi tempat berkonsultasi jika ditemukan ada hambatan dalam melaksanakan program. Tim inilah yang mempelajari dan mencatat kemajuan yang dicapai dan juga menginventarisir permasalahan di lapangan. Lokomotif bahasa terdiri dari : guru bahasa, tim dari siswa, guru lain yang sangat semangat. Lokomotif bahasa melaporkan semua kemajuan dan hambatan pada Kepala Sekolah yang menjadi bahan untuk perbaikan  program.

Studi banding dilakukan dengan menargetkan tempat yang jauh lebih baik. Studi banding selalu berubah ubah tempatnya dan tidak secara permanen mengunjungi satu tempat setiap tahun.  Itu kenapa dalam tulisan saya, saya menyarankan ada laporan yang bisa dinikmati di tiap studi banding yang dilakukan. Yang melakukan studi banding adalah benar benar para peneliti atau sang lokomotif bahasa dan bukan mereka yang ditunjuk asal asalan.